masukkan script iklan disini
Sebuah study tentang tanah ulayat Pakpak tercatat dengan rapi oleh Residen Tapanuli WKH Ypes pada sebuah buku yang berjudul “Sumbangan Pengetahuan Tentang Sistem Kekerabatan, Hukum Adat Masyarakat Asli, dan Hak Guna Tanah Batak Toba dan Pakpak Dairi, Diterbitkan: Perhimpunan Kerajaan “Institusi Kolonial”, Asosiasi Geografi Kerajaan Belanda dan Institut Batak (1932).
Buku ini ditulis dalam rangka perubahan hukum adat tradisional menjadi hukum adat Kolonial Belanda yang disebut Adatrecht. Perubahan tersebut juga sekaligus sebagai pencatatan wilayah secara administratif bersama dengan marga-marga yang mendiami tanah ulayat tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa suku Pakpak terdiri dari lima suak yaitu Pegagan, Keppas, Simsim, Kelasen dan Boang. Setiap suak memiliki marga-marga sipajek rube, rading berru dan juga marga ginemgem di dalamnya.
Marga-marga tersebut tentu saja memiliki hak ulayat yang sudah disahkan secara adat, yaitu dengan cara “pejaheken tanoh” yaitu sebuah istilah dalam pemberian tanah kepada marga lain.
Pemindahtanganan tanah oleh satu marga kepada marga lain disebut juga dengan pejaheken tanoh. Artinya bahwa pemindahtanganan tersebut sudah sah secara adat maupun secara hukum.
Sebuah contoh yang terjadi di suak Simsim adalah sbb: Marga Sipajek Rube adalah marga Padang, Berutu, Solin. Sedangkan marga Sitakar, Tinendung, Padang Batanghari, Manik, Banurea, Boangmenalu, Bancin, Sinamo dan Cibero adalah marga pendatang baik sebagai rading berru (marga yang menikah dengan puteri sipajek rube) maupun sebagai ginemgem (marga yang berjasa kepada sipajek rube).
Satu-satunya kasus luar biasa yang terjadi adalah penjualan oleh salah satu bekas takal aoer Keradjaan atas wilayah milik marganya kepada marga Tjibero karena kekurangan uang.Secara umum hal ini dianggap sebagai ketidakteraturan yang besar.
Dalam pengaturan tanah ulayat tersebut, pemerintah kolonial mengakui marga-marga tersebut dan tanah ulayat yang ditempatinya, sehingga di suku Pakpak tanah ulayat dan marga seperti sekeping mata uang dimana satu sisi adalah wilayah di sisi lainnya adalah marga-marga yang menempatinya yang disebut dengan sukut nitalun.
Penaklukan wilayah juga dianggap tidak mungkin, karena masing-masing sudah memiliki pengakuan dan sejarahnya masing-masing. Jika adapun perebutan tanah, maka itu hanya menyangkut dengan sengketa perbatasan, bukan perebutan wilayah.
Pertukaran wilayah tanah dengan marga antara satu sama lain juga tidak ada. Namun, diizinkan bahwa seorang marga pertanoh melalui pernikahan dengan salah satu marga, menyisihkan sebagian dari wilayahnya - pendjaheken tanoh - kepada marga lain kepada seseorang yang telah menikahkan putrinya kepada marga tersebut.
Marga ini kemudian memperoleh hak ulayat dan dapat membangun desa di sana, tanpa harus menjadi marga pertanoh yang kemudian disebut sebagai Rading berru.
Dalam pemerintahan aoer, desa-desa tersebut diwakili oleh seorang beroe. Untuk meresmikan wilayah itu diadakan sebuah pesta yang disebut dengan merbayoken tanoh.
Demikianlah pengaturan tanah ulayat dilakukan oleh leluhur Pakpak pada masa lampau, sehingga pada saat ini kita dapat melihat bahwa ada marga-marga non Pakpak memiliki ulayat di Tanoh Pakpak.
Seyogianya pada kebaikan hati para leluhur pada masa lampau disikapi dengan rasa terimaksih kepada sipajek rube yang telah mengijinkan mereka membuka sebuah desa.
Pengakuan mereka terhadap pemberian itu dan sejarah tanah ulayat yang diberikan tersebut merupakan penghargaan dan penghormatan yang pantas diberikan kepada sipajek rube di semua suak di Tanoh Pakpak.